Sumber gambar : http://1cak.com/703544
Emmm,
jujur baru-baru ini gue mengalami jatuh cinta. Slow aja, nggak usah
pakai ciyee ciyee segala. Orang jatuh lo ciye-ciyein. Coba kalau pas
lagi nongkrong tiba-tiba di depan lo ada orang jatuh dari motor, masa lo
ciye-ciyein?
Dilempar motor kapok lo...
Menurut
gue, cinta itu seperti burung kakak tua ya, yang bisa hinggap dimana
saja bahkan
di jendela. Dan cinta itu bukan seperti nenek sudah
tua yang giginya tinggal dua, yang begitu rapuh bahkan sama kerupuk.
Cinta itu nggak pernah rapuh. gaes. Yang rapuh adalah manusianya yang
nggak sanggup
menahan besarnya cinta.
Uhhukk!!
Cinta
itu seperti burung kakak tua yang hinggap di jendela dan nenek sudah
tua giginya tinggal dua. Kadang nggak nyambung dan susah dimengerti.
Coba bayangin, apa korelasi antara burung kakak tua dan nenek yang udah
tua? Apalagi giginya nenek tinggal dua. Apakah kalau si burung nggak
hinggap di jendela terus giginya nenek nggak tinggal dua gitu? Tiga
misalnya, atau lima, atau sepuluh? Nggak nyambung banget kan?
Tetapi
cinta tetaplah cinta. Cinta itu indah. Keindahan cinta justru bisa kita
ibaratkan seperti burung dan nenek tadi. Buktinya, waktu masih kecil lo
suka banget kan nyanyiin lagu itu meski nggak sadar antara burung dan
nenek nggak ada keterkaitan. Gue kasih tahu, faktor keindahannya
terletak pada sajak a-a-a-a yang sama di belakangnya.
Ketika
sudah besar lo pun suka banget main cinta-cintaan meski belum tahu
esensinya. Kenapa? Karena indah men! Gue kasih tahu, faktor keindahannya
terletak pada getar yang sama di hati kalian berdua.
Weishh... Yess! Akhirnya gue bisa so sweet juga setelah makan gula tiga kilo tadi sore.
Oke,
lupakan sejenak tentang jatuh cinta. Lo nggak usah kepo apakah gue
akhirnya jadian sama si dia. Nggak usah. Jawabnya udah pasti enggak.
Apakah gue takut mengungkapkan rasa? Bukan men, bukan. Rasa takut gue
untuk mengungkapkan rasa nggak sebesar rasa takut gue akan kehilangan
dia. Berkali-kali putus mengajarkan gue bahwa pacaran itu adalah bingkai
terrapuh untuk menyatukan dua hati.
Tahu
Pidi Baiq? Iya itu tetangga gue, dia mengatakan bahwa tujuan pacaran
adalah untuk putus. Bisa karena berpisah, bisa karena menikah. Jadi,
karena gue belum siap menikah, tahu kan jalan terakhirnya apa?
Iya. kawin lari. Larinya lari maraton. Pas nyampe finish balik lagi. Kenapa? Tongkat estafetnya ketinggalan.
Meskipun belum pernah
nikah, gue kadang mikir rumah tangga itu kayak sebuah negara. Jadi,
peran ayah mirip banget kayak presiden. Dan ibu? Tentu saja wakil
presiden.
Jangan bilang peran ibu kayak menteri ya,
soalnya menteri itu ada banyak dan bisa digonta-ganti. Lo nggak mau kan
sebagai cewek nanti suami lo istrinya segambreng? Apalagi kalau kabinet
rumah tangga lo adalah kabinet kerja Joko-wow. Suami lo istrinya bisa 34
termasuk elo! Itu belum kalau dia pengen nambah lagi karena ada
beberapa yang terbukti menyandang daftar merah dan terpaksa
diberhentikan.
Saran gue, sebaiknya nanti kalau abis
nikahan jangan namai kabinet rumah tangga lo dengan kabinet kerja ya.
Soalnya bersih-bersih rumah itu capek. Belom kalau punya anak. Yahh...
namai kabinet holiday kek, atau kabinet selow, atau apa gitu.
Kabinet
holiday, berarti liburan terus. Tiap hari berasa hari Minggu. Suami
pulang kerja liat meja makan nggak ada apa-apa, yaudah santai aja.
Anggap aja lagi di pantai. Kan hari libur. Gelar tikar, tiduran, dan buka
baju.
Sambil nyemilin meja.
Kabinet
selow, gerakan di rumah seakan disetting slow motion mulu. Mau nampar
suami yang selingkuh, gerakannya lambat banget. Tangannya melayang
sekarang, sejam lagi baru kedengaran suaranya. Plakk! Slow banget.
Tapi enaknya kalau pas kentut. Kentutnya sekarang, sejam lagi baru kecium baunya.
Atau...
Gimana kalau kabinet happy ending aja? Yaaa, dengan harapan berakhir
dengan bahagia kayak drama korea favorit wanita. Happy ending, habis
happy-happy terus ending. Rumah tangganya yang ending. Bubar!
Bicara rumah tangga mulu, sebenarnya gue masih lama kok rencana akan nikah. Jujur gue sekarang masih jomblo.
Eh, lo jangan ngeledekin jomblo ya. Lo para cewek aja kalau lihat gue pasti ngakunya jomblo.
Rencananya, gue pengen sukses dulu jadi penulis sebelum nikah. Iya cita-cita gue sejak SMA emang pengen jadi penulis.
Ngomongin
penulis, hal yang paling bikin sebel penulis itu adalah kalau
kehilangan data. Jadi udah ngetik capek-capek, tinggal nekan Ctrl + S atau tombol save, lo tau kan, eh
malah listrik mati. Itu kalau ngetiknya di komputer tanpa UPS.
Buat
yang ngetik di laptop, udah capek-capek ngetik, disimpen di flashdisk,
eh flashdisknya hilang. Atau disimpen di laptop eh laptopnya error. Mau
service di toko komputer eh karyawannya malah sang mantan. Dikuat-kuatin
kesana demi laptop, eh malah mantan ngajak balikan. Laptop beres siap
ngelanjutin naskah, eh bayangan si mantan menghantui. Bayangan mantan
hilang, eh laptop error lagi.
Yah begitulah suka duka penulis.
Penulis
juga identik dengan malam. Julukan yang pas adalah penulis kampret.
Maksud gue bukan muka lo kayak kampret, bukan. Maksud gue kalau malam
penulis itu biasanya banyak begadang. Tapi cuma buat nulis bukan buat
gelantungan di pohon.
Kayak yang gue lakukan malem-malem
gini. Gue biasa tidur jam dua belas kadang lebih. Kopi adalah
teman biasa gue. Biar nggak ngantuk gue bikin kopi panas. Kadang kalau
stok gula dan kopi gue abis, gue rela-relain keluar nyari kopi panas.
Kalau ternyata masih ngantuk, gue ganti nyari film panas.
Enggak
enggak.
Tengah malem itu adalah saat-saat dimana puncak moment mistis
berlangsung. Keadaannya hening mencekam. Inspirasi banyak datang sih.
Tapi pernah ada kejadian, gue denger suara kuku tajam garuk-garuk
jendela luar kamar gue. Tapi gue nggak takut. Gue teriakin, woyy codot
perlihatkan wujud lo kalau berani! Jangan garuk-garuk jendela mulu!
Emang jendela gatel apa lo garukin!!
Abis itu keadaan
menjadi senyap lagi. Karena penasaran gue buka jendela kamar. Gue
terkejut melihat om gendruwo ganti garuk-garuk pantatnya.
Pantesan asik. Dan tanpa suara.
Gue Ken Patih, selamat malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar